Jamu dan Fitofarmaka, 2 Obat Herbal dengan Perbedaan Mendasar

Jamu dan Fitofarmaka, 2 Obat Herbal dengan Perbedaan Mendasar

Jamu dan fitofarmaka adalah dua jenis obat tradisional yang sering disalahartikan sebagai satu hal yang sama. Padahal, ada beberapa perbedaan yang mendasar antara keduanya.

Jamu

Jamu adalah obat tradisional yang diracik dari bahan-bahan alami, seperti akar-akaran, daun-daunan, buah-buahan, dan rempah-rempah. Jamu biasanya dibuat secara tradisional dengan cara direbus, ditumbuk, atau diseduh.

Jamu memiliki berbagai macam khasiat, mulai dari obat sakit kepala, masuk angin, hingga obat kuat. Jamu juga sering digunakan untuk menjaga kesehatan tubuh dan kecantikan.

Obat Fitofarmaka

Obat fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah melalui proses penelitian ilmiah dan memiliki standar mutu yang tinggi. Obat fitofarmaka dibuat dari bahan-bahan alami, tetapi proses pembuatannya telah menggunakan teknologi modern.

Obat fitofarmaka memiliki khasiat yang lebih teruji dan aman daripada jamu. Obat fitofarmaka juga telah terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Perbedaan Jamu dan Fitofarmaka

Berikut adalah beberapa perbedaan antara jamu dan obat fitofarmaka:

Aspek Jamu Obat Fitofarmaka
Bahan Bahan-bahan alami Bahan-bahan alami
Proses pembuatan Tradisional Modern
Standar mutu Tidak ada standar mutu yang baku Memiliki standar mutu yang tinggi
Khasiat Khasiat yang belum teruji secara ilmiah Khasiat yang teruji secara ilmiah
Keamanan Keamanan yang belum teruji secara ilmiah Keamanan yang lebih teruji
Legalitas Tidak terdaftar di BPOM Terdaftar di BPOM

Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa jamu dan obat fitofarmaka adalah dua jenis obat tradisional yang berbeda. Jamu adalah obat tradisional yang diracik secara tradisional, sedangkan obat fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah melalui proses penelitian ilmiah dan memiliki standar mutu yang tinggi.

Baca Juga : Cara Menurunkan Kolesterol Tinggi yang Bisa Dicoba

BPOM Perluas Akses Obat Herbal dengan Izin Edar 24 Obat Fitofarmaka

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) kembali memberikan izin edar kepada 24 obat fitofarmaka pada tanggal 20 Juli 2023. Izin edar tersebut diberikan kepada 15 industri farmasi dan 9 industri kecil menengah (IKM).

Ke-24 obat fitofarmaka tersebut terdiri dari berbagai macam jenis, yaitu:

  • Obat herbal untuk gangguan pencernaan, seperti obat maag, obat diare, dan obat sembelit.
  • Obat herbal untuk gangguan pernapasan, seperti obat batuk, obat pilek, dan obat radang tenggorokan.
  • Obat herbal untuk gangguan peredaran darah, seperti obat hipertensi, obat kolesterol, dan obat nyeri otot.
  • Obat herbal untuk gangguan tulang dan sendi, seperti obat asam urat, obat rematik, dan obat nyeri pinggang.
  • Obat herbal untuk gangguan kulit, seperti obat jerawat, obat gatal, dan obat luka.

Pemberian izin edar oleh BPOM kepada obat fitofarmaka merupakan upaya untuk meningkatkan ketersediaan obat tradisional yang terjamin mutu dan keamanannya. Obat fitofarmaka memiliki berbagai macam khasiat yang dapat digunakan untuk menjaga kesehatan dan mengobati berbagai macam penyakit.

Berikut adalah beberapa manfaat obat fitofarmaka:

  • Memiliki khasiat yang teruji secara ilmiah
  • Lebih aman daripada obat-obatan kimia
  • Ramah lingkungan
  • Mudah didapat

Obat fitofarmaka dapat dikonsumsi oleh semua kalangan, termasuk ibu hamil dan menyusui. Namun, sebelum mengonsumsi obat fitofarmaka, sebaiknya berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter atau apoteker untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap.

Baca Juga : Mencegah retinoblastoma

Asal Tanaman, Faktor Penting dalam Standardisasi Fitofarmaka

Demikian pernyataan Rina Gunawan, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dalam sebuah konferensi pers pada tanggal 20 Juli 2023. Rina mengatakan bahwa penggunaan fitofarmaka di Indonesia harus mengacu pada standardisasi dan kualitas yang bervariasi berdasarkan asal tanaman, metode pengolahan, dan formulasi.

Rina menjelaskan bahwa asal tanaman merupakan faktor penting yang mempengaruhi kualitas fitofarmaka. Tanaman yang berasal dari daerah yang berbeda dapat memiliki komposisi senyawa yang berbeda pula. Oleh karena itu, perlu dilakukan standardisasi kandungan senyawa aktif dari tanaman yang digunakan sebagai bahan baku fitofarmaka.

Metode pengolahan juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas fitofarmaka. Metode pengolahan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan senyawa aktif dalam tanaman. Oleh karena itu, perlu dilakukan standardisasi metode pengolahan agar senyawa aktif dalam tanaman tetap terjaga.

Formulasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas fitofarmaka. Formulasi yang tidak tepat dapat menyebabkan fitofarmaka menjadi kurang efektif atau bahkan berbahaya. Oleh karena itu, perlu dilakukan standardisasi formulasi agar fitofarmaka memiliki keamanan dan khasiat yang terjamin.

Rina menambahkan bahwa BPOM telah menetapkan standar mutu untuk fitofarmaka. Standar mutu tersebut mencakup kandungan senyawa aktif, metode pengolahan, dan formulasi. BPOM juga melakukan pengawasan terhadap produksi dan peredaran fitofarmaka di Indonesia untuk memastikan bahwa fitofarmaka yang beredar memiliki mutu dan keamanan yang terjamin.

Penegasan Rina Gunawan tersebut penting untuk diperhatikan oleh masyarakat Indonesia yang ingin menggunakan fitofarmaka. Penggunaan fitofarmaka yang tidak mengacu pada standardisasi dan kualitas yang bervariasi dapat berisiko terhadap kesehatan. Oleh karena itu, masyarakat harus memastikan bahwa fitofarmaka yang mereka gunakan telah terdaftar di BPOM dan memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *